RSS

Cerpen- Give me more Choice



Malam yang romantis menurutku, hujan gerimis dan alunan musik alam berpadu membentuk suatu gelombang longitudinal suara yang merdu. Jari telunjuk ku masih terbalut perban dengan rapih. kejadian siang tadi yang menyebabkan luka kecil ini, tapi, kajadian itu pula yang menyebabkan rekaman kenangan otak kananku akan terus menyimpannya.
Oo
“hen, gimana jarimu? Masih sakit?” suara yang benar-benar aku ingat ini mengagetkanku dari lamunan. “oh...iyah” aku kikuk menjawab. Keringat dingin mulai mengucur melintasi dahi hingga ke pipi. Jatungku benar-benar tak terkendali, berdegub kencang sekali! Aku harap jantungku tak meledak, dan masih aman berada diposisinya.

Finnal, lelaki hitam manis ini, dia lah penyebabnya.

“maaf ya hen..gara-gara aku kamu sampe luka gitu.” Finnal memasang raut wajah menyesal, tapi bagi ku, itu tetap saja raut wajah yang manis! Dilihat dari sisi manapun tetap sama!. “oh, gak apa kok.. makasih malah udah diobatin..hehe” aku menyeringai, yang pasti terlihat aneh karena bercampur grogi.

Ya, percakapan kami hanya sebatas itu, selebihnya diam dalam kecanggungan sampai lonceng bel pulang lah yang mengakhirinya.
“mau pulang bareng,....hen?” suaraya sedikit tertahan. “hah? Eung.... iya.”. aku tak tahu harus berekspresi apa,yang jelas hati ku meledak-ledak saat itu juga.

Oo

Gina hanya memasang wajah bingung imutnya saat mendengar semua ceritaku, mungkin dia tak mengerti tentang apa yang aku bicarakan, dia hanya menyimak dan tertawa saat aku mengeluarkan ekspresi kegirangan. Umurnya baru 8 tahun. Pasti belum mengerti tentang apa maksudku. Dan aku memang berharap dia tak mengerti.

Gina lah yang selama ini berperan sebagai ‘diary hidup’ ku. Semuanya kuceritakan padanya. Semuanya, tak terkecuali tentang Finnal. Dan setiap aku bercerita, ekspresinya tetap sama, diam menyimak dan memperlihatkan sisi ‘innocent’-nya.

Gina sebenarnya bukan adik kandungku, aku hanya ‘menumpang’ tinggal dirumah kedua orang tuanya yang masih memiliki hubungan kekerabatan denganku. Kami adalah saudara sepupu, begitu singkatnya. Karena aku bersekolah dikota ini.

Ayahku yang bercerai dan menikah lagi, membuatku benar-benar tak ingin tinggal dirumah itu. Itulah yang membuatku pindah ke rumah Gina.

OOO

Ini adalah semester akhir aku sekolah disini. Aku tak ingin melanjut kuliah, alasannya simpel, ‘tak ada biaya’.

Lupakan tentang kuliah, bayangan wajah Finnal telah memenuhi seluruh ruangan di otakku. Sungguh, sosok itu benar-benar membiusku. Apa mungkin dia salah satu jenis narkotika bagiku? Haha,

Aku tahu apa yang dia rasakan, cinta. Aku bukannya besar rasa, tapi aku memang tahu. Dan masalah terbesarnya terletak pada ‘keyakinan’. Kami berbeda, karena perbedaan itulah yang membuat jarak antara perasaan kami dengan kenyataan. Dalam keyakinanku, haram untuk menikah dengan laki-laki yang beragama lain. Ya, walaupun aku bukan mau untuk menikah, tapi tetap saja itu masalah bagiku. Dia sebenarnya tertarik dengan kepercayaanku, tapi mungkin dia masih butuh waktu untuk mengenal lebih dalam.

Ooo

Siang ini hujan, aku masih saja terjebak disini. hampir satu jam sudah ku tunggu air-air jatuh ini untuk berhenti. Aku harus segera pulang, Gina pasti sudah menunggu dirumah. “oke, akan ku terobos hujan ini! “ aku mencincing sedikit rok panjangku, takut kalau-kalau ternoda oleh cipratan lumpur.

“hiyaah! Malah tambah deres!” jeritku kecil sembari menutupi kepala dengan tas ku yang memang sudah basah kuyup. Aku tahu sebenarnya itu sama sekali tak berguna. Aku ingin berlari kencang, tapi tak mungkin, jalanan becek tak keruan.

“Henny!” suara jeritan itu merambat sampai ke telingaku. Belum sempat aku menoleh mencari sumber suara, tiba-tiba saja sebuah payung sudah melindungi ku dari hujan ini.
“kenapa hujan-hujanan sih!” nada bicaranya kesal bercampur khawatir. Finnal, dia yang memayungiku. “iya, abisnya aku harus cepet pulang.” Aku mengeluarka ekspresi penyesalan yang aneh. “kamu kok disini juga?” lanjutku dengan suara lirih. “aku cari kamu tadi, aku tau kamu pasti gak bawa payung.” Ekspresinya serius. “kamu itu gak boleh sakit, hen.” Lanjutnya, kali ini air mukanya melembut. Aku mohon jangan seperti itu, itu membuatku semakin mencair,finnal!

Kami berjalan berdua ditengah hujan deras. Payung mungil ini sebenarnya tak cukup untuk melindungi tubuh kami. Tapi, aku benar-benar tak merasakan cipratan air. Ku lirik Finnal, astaga! Dia tak sepenuhnya terlindungi! Ya, dia membiarkan separuh tubuhnya tersiram hujan demi aku. Payung ini ternyata lebih dicondongkannya ke arah ku. Speechless.

Ooo

Finnal sakit, padahal sebentar lagi LUN. “maaf,Finnal..” bisikku lirih dalam hati.
Aku dan teman-teman berniat menjengukknya siang ini selepas sekolah. Kami membeli sekantong jeruk dan sebungkus roti untuknya. Aku harap kedatangan kami dapat sedikit menghiburnya.

Wajahnya pucat sekali, bibirnya putih karena kering. Rasa bersalahku bertambah melihat dia hanya bisa berbaring seperti itu. Ah,, andai saja waktu itu aku tak pulang!

Finnal tersenyum manis padaku. “kamu gimana,fin? Udah agak mendingan?” aku mencoba sedikit tersenyum meski kikuk. Selalu saja seperti ini saat aku berhadapan dengannya. Kikuk!
“iya, udah.. kemaren malah lebih tepar dari ini, haha” dia tersenyum lebar.

Ooo

Hari ini perpisahan SMA. Wajah-wajah sumringah menghiasi setiap sudut sekolah. Aku lulus dengan nilai yang munurutku cukup baik.ya, menurutku. Aku menyelamati setiap temanku, tak terkecuali Finnal. Dia berdiri dibawah pohon. Aku menghampirinya dan menghias wajahku dengan senyuman.
“selamet ya,” ucapku sembarimenyodorkan tangan. “eh, iya.. selamet juga ya..” dia membalas senyumku lebih lebar. Kami berbincang dibawah pohon tua ini. Banyak topik yang kami bahas, mengalir begitu saja. Ini pertama kalinya aku tak merasa kikuk atau apapun saat berhadapan dengannya. Aku tak tahu kenapa.
“ehm.. hen..” nada bicaranya tiba-tiba memelan, suasana berubah serius. “iya?”
“kita udah lama temenan, kan?” tatapan matanya kini tajam, lurus menembus wajahku.
“iya, kenapa,fin?” aku mulai kikuk lagi.
“aku menyimpan sesuatu, jauh didalam sana,hen. Aku berusaha untuk menyembunnyikannya. Menyimpannya rapih-rapih. Aku ... aku...” suaranya terhenti.

Aku semakin kikuk. Wajahku memerah, kupingku panas rasanya. Telapak tanganku dingin. Aku tahu! Aku tahu apa yang akan diucapkannya! Haruskah?
“aku, sayang...kamu, hen” tatapannya benar-benar lurus menuju mataku, seolah dia ingin menunjukkan bahwa ini benar-benar serius. Wajahnya merah kali ini, aku tak tahu, apa dia malu?

Aku terdiam, tak bergerak sedikitpun. Mataku masih tetap terkunci oleh tatapannya.

Sepersekian detik, aku langsung berlari. Berlari meninggalkannya disana. Aku tak tahu harus bagaimana. Tak tahu harus menjawab apa. Aku ingin bilang ‘iya’, tapi ada sesuatu yang menahanku untuk mengatakan itu. Aku tak tahu!

Ooo

Aku pulang kerumah ayah. Sekolahku telah selesai. Sudah beberapa minggu aku disini, padahal paman berpesan agar aku kembali saja ke sana. Aku ingin tapi..~

Aku teringat lagi ole Finnal, tentang perasaannya yang belum pasti jawabnya. Apa sekarang dia marah kepadaku?

Perasaanku semakin kalut, karena Aku bertengkar dengan ibu tiriku hari ini. Semakin membuat runyam semuanya. aku tak tahan lagi menghadapi sikapnya itu. Kalau memang tak suka, sudah lah tak usah terlalu mengomentari semua yang aku perbuat! Aku rasa aku sama sekali tak mengganggunya, bicara padanya pun tidak! Dialah yang selalu mencari-cari kesalahanku!

Ini bukan pertamakalinya terjadi pertengkaran hebat antara aku dan dia. Hampir setiap hari,setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik! Aku benar-benar tak tahan! Aku merasa seperti diasingkan dirumahku sendiri.

Ooo

Botol berwarna hijau ini masih tergeletak diatas meja kamarku. Cairan dari dalam mata dan tengorokkan ku memaksa mendesak ingin keluar. Benar-benar tak bisa ku bendung. Aku berusaha menulis surat dengan tangan yang gemetar ini, peluhku berjatuhan membasahi seluruh tubuh. Napasku tercekat, kerongkonganku terasa panas. Aku harap aku masih memiliki sisa tenaga,

Surat ini untuknya, Finnal. Mugkin ini surat terakhir yang dapat kutulis.

“maaf karena telah berlari waktu itu,
Aku tak tahu harus menjawab apa,
Hati ku berkata iya, tapi seperti ada yang menahanku.
Maaf karena telah berlari waktu itu,
Aku ingin kita bersama, tapi seperti ada yang mencegah ku.
Aku ingin tuhan memberi ku satu pilihan lagi,
Hidup bahagia,
Aku ingin tuhan memberiku cukup satu pilihan lagi,
Tapi, aku rasa aku sudah bahagia, ya, saat melihatmu tersenyum, aku bahagia
Terimakasih karena telah menorehkan lukisan-lukisan berwarna dalam lembar-lembar hidupku.
Finnal, aku punya satu permintaan..
Hanya satu permintaan......
Lihatlah batu nisan ku, ”

Ooo

Epilog :
Rumput digundukan tanah kering ini mulai meninggi. Bunga-bunga kamboja gugur menyentuh. Seorang pria berdiri terpekur memandangi sebuah batu disisi gundukan itu. Tak bergerak sedikitpun. Ada sesuatu yang keluar menetes dari matanya. Dan saat itu, kakinya tak tahan lagi menompang tubuhnya. Menahan semua rasa sakit yang menyayat. Ia tak percaya dengan semua ini. Tiga tahun sudah, dan baru ia tahu?
Batu itu hanya diam membisu, ingin rasanya lelaki itu membongkar gundukan tanah dan melihat sesosok tubuh wanita yang benar-benar ia rindukan. Mungkin kah?

HENNY PUSPA
BINTI
GUNANDAR
(1986-2003)